Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja masih menjadi persoalan yang serius. Pengetahuan yang belum memadai berperan besar dalam membentuk respon yang beragam oleh pekerja terhadap kekerasan dan pelecehan, termasuk juga kekerasan berbasis gender. Kurangnya pengetahuan tentang kekerasan dan pelecehan akan berpengaruh terhadap kurangnya kesadaran untuk merespons kekerasan dan pelecehan yang terjadi. Respons yang tidak memadai menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman dan tidak sehat yang berkelanjutan.
2022
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan tindak pidana serius yang melibatkan jaringan pelaku kejahatan dengan modus operasi yang kian kompleks dari waktu ke waktu. Kejahatan ini masih menjadi momok bagi pemerintah Indonesia sebagaimana masih ada wilayah negara kita yang menjadi daerah sumber atau daerah asal korban dan daerah transit korban TPPO sebelum kemudian dikirim ke daerah/negara tujuan, terkhusus di wilayah Pulau Kalimantan. Untuk mendapat gambaran lebih lanjut terkait situasi tersebut, International Organization for Migration (IOM) Indonesia bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) telah melakukan penelitian pada bulan November 2018 hingga bulan Juni 2019 di empat lokasi di Pulau Kalimantan, yang merupakan daerah perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia, yakni Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Nunukan di Provinsi Kalimantan Utara. Pada tahun 2020, penelitian ini dipublikasikan dalam bentuk laporan yang berjudul “Profil Perdagangan Orang di Perbatasan Kalimantan: Studi pada Kabupaten Sanggau, Sambas, Kapuas Hulu, dan Nunukan.”
Kekerasan berbasis gender terhadap pengungsi Internasional yang berada di suatu negara penerima belum mendapatkan perhatian secara meluas karena:
- kekerasan berbasis gender itu merupakan isu yang relatif baru diperbincangkan di tingkat global dan di nasional
- isu pengungsi merupakan isu yang dipandang sangat sensitif di tingkat global, regional dan domestic (negara)
- ada budaya yang kuat di kalangan pengungsi untuk tidak melaporkan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, baik karena pelakunya bisa jadi adalah anggota keluarga sendiri atau dari komunitas sesama pengungsi.
Buku panduan berjudul” Kekerasan Berbasis Gender dalam Konteks Pengungsi – Panduan untuk Pendamping di Pengungsian” disusun dengan maksud untuk menjadi pegangan bagi para pendamping di komunitas pengungsi Internasional, khususnya mereka yang meninggalkan negaranya karena konflik dan mencari suaka, dalam pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam konteks pengungsi. Pendamping diharapkan mengetahui apa saja bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di komunitas pengungsi, mendeteksi secara dini kasus-kasus yang terjadi di kalangan para pengungsi; mendokumentasikan kasus-kasus dan penanganannya secara tepat yang berperspektif korban dan hak-hak asasi manusia lainnya sehingga korban diharapkan dapat dipulihkan kemanusiaannya dan penderitaannya dan mendapatkan akses terhadap keadilan.
Narasumber:
- Jumiyem (Sekolah PRT Tunas Mulia DIY)
- Susilo Andi Darma, S.H., M.Hum (Dosen Hukum Ketenagakerjaan FH UGM / Peneliti LGS)
- Dr. Ninik Rahayu, S.H., MS (Anggota Tim Substansi RUU-PPRT)
Editor: Nabiyla Risfa Izzati, S.H., LL.M (Adv) (Dosen Hukum Ketenagakerjaan FH UGM / Peneliti LGS)
Copywriter: Diantika Rindam Floranti, S.H., LL.M.
Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh penduduk Indonesia, dengan tren meningkat setiap tahun. PRT selama ini melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah dan pekerjaan, dengan demikian PRT seharusnya dipandang sebagai pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. Namun di Indonesia PRT jarang disebut sebagai pekerja (workers) dan hanya dianggap sebagai pembantu (helper). Hubungan kerja antara para PRT dan majikan umumnya hanya diatur berdasarkan kepercayaan atau kekeluargaan saja. Mayoritas PRT tidak memiliki perjanjian kerja sebagaimana yang dimiliki oleh pekerja di perusahaan. Padahal, perjanjian kerja merupakan pedoman bagi kedua pihak yang memuat sejumlah kewajiban, dan menjamin sejumlah hak.
Perubahan pengaturan usia minimum perkawinan dan dispensasi perkawinan merupakan momentum penting dari perjuangan panjang menentang perkawinan anak. Pembaharuan hukum telah menunjukkan kesadaran negara akan terenggutnya hak-hak anak – utamanya anak perempuan – sebagai akibat dari perkawinan anak. Namun, perubahan tersebut masih menyisakan ruang bagi terjadinya perkawinan anak. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab berbagai pihak. Oleh karenanya, pemantauan terhadap implementasi perubahan tersebut menjadi suatu langkah yang penting untuk dilakukan.