Ditulis Oleh: Laras Susanti, S.H., LL.M
Dosen dan Peneliti pada Pusat Kajian Hukum, Gender, dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sejak tahun 2007, setiap hari kamis di depan Istana Negara, sejumlah korban dan keluarga korban tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi lainnya, menuntut penegakan hukum atas peristiwa-peristiwa memilukan tersebut. Aksi tersebut dikenal sebagai Aksi Kamisan. Mengenakan pakaian dan atribut serba hitam, mereka diam bediri di bawah payung hitam. Aksi ini kemudian menyebar di tiga puluh kota lainnya.
Siklus Pemilu yang demokratis tiap lima tahun ternyata tak berkorelasi positif dengan penuntasan kasus-kasus tersebut. Selama tiga belas tahun, tuntutan diarahkan pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhono, dan kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tercatat aksi dilaksanakan sebanyak 643 kali di depan Istana Negara dan 594 surat dikirimkan. Pada 13 Mei 2018, keluarga korban bertemu dengan Presiden Jokowi. Sejak pertemuan tertutup itu hingga kini, akhir tahun 2020, tidak ada perkembangan proses hukum oleh Kejaksaan Agung.
Alih-alih mendapatkan titik terang, korban dan keluarga korban justru harus menelan kekecewaan atas tindakan Jaksa Agung pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI (16 Januari 2020). Pada rapat tersebut Jaksa Agung menyatakan “…Peristiwa Semanggi I dan II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM…”
Keluarga korban Semanggi I dan II yakni Sumarsih dan Ho Kim Ngo diwakili oleh Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II lantas mengajukan gugatan Onrechtmatige Overheidsdaad atau yang dikenal dengan Perbuatan Melawan Hukum Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (PMHP) terhadap Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Tertanggal 04 November 2020, PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 99/G/2020/PTUN-JKT memutus mengabulkan gugatan tersebut. Bagaimana majelis hakim sampai pada kesimpulan terjadi perbuatan melawan hukum? Setelah pemblokiran internet di Papua, dan kini dengan putusan terkaittragedi Semanggi I dan II, seperti apa peluang jalur litigasi sebagai upaya koreksi atas tindakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
Pembuktian di Pengadilan
Dalam surat gugatannya, Sumarsih dan Ho Kim Ngo (Penggugat) memohon majelis hakim memutus Jaksa Agung (Tergugat) bersalah atas PMHP karena pernyataannya dalam rapat di atas menimbulkan kerugian langsung bagi Penggugat: mendelegitimasi penyidikan oleh Komnas HAM, menimbulkan ketidak pastian hukum, Jaksa Agung sekarang dan ke depan tidak akan memproses kasus Semanggi I dan II.
Menanggapi Penggugat, Tergugat menangkis kepentingan dan kerugian langsung Penggugat karena obyek gugatan bukan kewenangan Peratun, gugatan prematur, dan kurang pihak karena tidak memasukan DPR juga sebagai tergugat. Dalam pokok perkara, Tergugat mendalilkan bahwa tidak terpenuhinya bukti oleh Komnas HAM menjadi hambatan penyelesaian kasus tersebut dan Tergugat dilindungi oleh hak imunitas.
Merespon dalil dari dua pihak dan alat bukti, tergambar dari pertimbangan hukum, Majelis Hakim sepakat pada dalil-dalil Penggugat. Jaksa Agung adalah pejabat pemerintahan. Pernyataan yang menjadi obyek gugatan masuk kategori perbuatan konkrit pejabat pemerintahan dalam menjalankan undang-undang. Penggugat dinilai telah memenuhi upaya administratif dengan mengirimkan surat keberatan yang ditanggapi Tergugat, kemudian mengirimkan surat terbuka ke Presiden sebagai upaya banding.
Majelis hakim menilai pernyataan tergugat mencerminkan ketidakcermatan dan mengandung kebohongan. Pernyataan tersebut berdampak pada hilangnya harapan menuntut keadilan tragedi Semanggi I dan II dan menimbulkan ketidakpastian hukum pada proses yang masih berlangsung.
Dalam amar putusan, majelis hakim mengabulkan seluruh petitum Penggugat. Tindakan Tergugat dinyatakan sebagaiPMHP, mewajibkan Tergugat untuk menerangkan penanganan dugaan pelanggaran HAM berat pada tragedi Semanggi I dan IIsesuai dengan keadaan yang sebenarnya sepanjang sebelum ada keputusan sebaliknya dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 285.000,-.
Putusan terkait tragedi Semanggi I dan II ini serupa dengan Putusan Nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-JKT dimana Menkominfo dan Presiden (Tergugat) terbukti melakukan PMHP karena melakukan pemblokiran internet di Papua. AJI dan Safenet selaku Penggugat berhasil membuktikan kerugian langsung diderita jurnalis dan Safenet karena pemblokiran intenet di Papua. Dampak nyata terhadap kebebasan berpendapat dan berdemokrasi terbukti di muka sidang. Kondisi keadaan bahaya darurat sipil yang didalilkan Tergugat harus memenuhi kualifikasi obyektif yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Majelis Hakim menilai pembatasan internet hanya dapat dilakukan terhadap muatan yang melanggar hukum, bukan memutus akses terhadap jaringan internet yang justru merugikan masyarakat. Selain itu, pemeriksaan alat bukti menunjukkan dampak pemblokiran tak hanya melanggar hak atas internet tapi juga hak-hak sipil dan politik. Atas dasar itulah, Majelis Hakim memutus tindakan pelambatan akses dan pemblokiran internet di Papua adalah perbuatan melawan hukum.
Upaya Korektif dalam Negara Hukum
Negara hukum menghendaki adanya check and balance. Mekanisme koreksi adalah keniscayaan. Doktrin bahwa pemerintah imun terhadap gugatan telah ditinggalkan sejak lama. Pemerintah dapat digugat di pengadilan. Peratun menjalankan kewenangan untuk memeriksa apakah keputusan atau perbuatan pemerintah telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Para Penggugat di dua perkara tersebut berpegang pada Jaminan UU Nomor 39/1999 tentang HAM atas hak untuk mengakses proses peradilan untuk memperoleh keadilan. Upaya administratif sebelum mengajukan gugatan pun dilakukan oleh Para Penggugat. Para Penggugat mampu membuktikan adanya kerugian langsung yang diderita.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu mengambil pelajaran. Mempunyai kewenangan tidak lantas membuat Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan bisa melakukan tindakan yang secara obyektif tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berlindung di balik diskresi pun tidak bisa dilakukan serampangan.
Bagi publik, dua putusan di atas harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas. Selain advokasi hak-hak dan kepentingannya di luar ruang sidang, proses peradilan dapat digunakan untuk memperoleh keadilan. Ratusan halaman dua putusan di atas menggambarkan Majelis Hakim di kedua perkara bersungguh-sungguh dalam memeriksa dan memutus.
Baik advokasi di luar maupun di dalam ruang sidang, keduanya dijamin oleh UUD 1945. Belakangan ini, partisipasi masyarakat mengalami hambatan dalam proses legislasi maupun pengambilan kebijakan. Ke depan, keduanya harus diupayakan maksimal. Sekali lagi, karena mekanisme koreksi adalah keniscayaan.
***
Hallo, selamat sore.
Saya Nengsy, apakah saudara punya seluruh putusan PTUN tingkat pertama, banding dan kasasi terkait kasus Semanggi ini ? Saya sedang membutuhkan data ini untuk penelitian, hanya saja saya tidak bisa menemukan putusannya . Terima kasih sebelumnya.